Labda ID) — Hali, lahir 1837, dari sebuah keluarga terhormat lagi miskin, terhormat karena menunjukkan kebangsawanannya sedangkan miskin untuk menggambarkan keumuman kondisi muslim India pada saat itu. Umat Islam India era itu memang berada pada titik terendah kehidupannya setelah selama hampir lima ratus tahun menjadi penguasa India melalui Dinasti Mughal. Sebuah dinasti yang selama ratusan tahun berkuasa hanya menjadikan rakyat 25 % rakyat India (sebelum lepasnya Pakistan) menjadi muslim, selebihnya tetap memeluk agama lama, Hindu. Sebuah fakta yang sebenarnya kalau Pater Hoeb Boelars dalam buku Indonesianisasi Gereja Katolik jujur, ia tidak akan menuduh bahwa bangsa Indonesia menjadi muslim akibat tekanan para Sultan yang memberlakukan kredo Konstantin Cius Regio Ilius et Religio sebagaimana yang terjadi di Romawi pada awal terbentuknya Roman Catholic. Sebuah kredo yang ketika kekuasaan politik penyangganya hancur pada abad ke tujuh mengantarkan benua Eropa pada abad kegelapannya.
Pada tahun-tahun itu, Inggris sebagai penakluk India mulai mengistimewakan para bangsawan Hindu, menaikkan kembali pamor bahasa Hindi yang sudah selama ratusan tahun tergantikan oleh Bahasa Urdu. Bahasa Hindi adalah salah satu varian bahasa di India yang masih kuat pengaruh Sansekertanya, sedangkan bahasa Urdu adalah bahasa lokal India yang sudah ter-Islamisasi, sehingga penulisannya pun sudah menggunakan huruf Arab. Kurang lebihnya seperti bahasa Melayu dan bahasa Jawa pada masa pendudukan kolonial Belanda. Jadi sebenarnya, ketika Van Lith menolak pengajaran Bahasa Melayu di Kolese Ignatius dan hanya mengajarkan bahasa Jawa dan Belanda, kemudia Karel Frederick Holle di Sunda membuat buku-buku kisah rakyat dalam bahasa Sunda dengan medium huruf yang katanya asli Sunda bukan lagi dengan huruf Arab Pegon, Karel Steenbrink dalam bukunya Kawan Dalam Pertikaian menyebutkan bahwa corak kebijakan pada masa itu adalah memunculkan adat kuno pra Islam, untuk memangkas Islam.
Musaddas, demikian karya puisinya yang diterbitkan pada tahun 1879, adalah puisi panjang yang yang berisi tentang kebangkitan dan kejatuhan umat Islam. Dimulai dengan kondisi Arab pra Islam, kedatangan Islam, ajaran dan Nabinya yang telah mengantarkan banyak bangsa pada puncak kejayannya, serta bagimana kemunduran dan kehancuran terjadi pada mereka.
Apabila dapat ditemukan pegunungan tinggi,
Yang puncaknya dapat membuka pandangan seantero bumi
Apabila orang pandai memanjat puncak tersebut
Dan memandang pandangan luas dari alam berufuk biru
Ia akan melihat perbedaan antar bangsa
Bahwa seluruh dunia akan jungkir balik
Ia akan melihat seribu taman di sekitarnya
Banyak yang segar dan hijau seperti kebun surge
Lainnya lagi kurang indah, namun segar dan bahagia
Lainnya lagi kering dan merana
Tetapi sekalipun pohon-pohonnya tidak berbunga dan berbuah
Ranting-rantingnya menjanjikan hari depan yang Indah !
Ia lalu menemukan suatu taman, semua sudah hancur
Yang senatiasa dalam cengkeraman topan yang berdebu
Yang tidak mempunyai tanda daun di semua penjuru
Yang hijau rantingnya telah menjadi layu dan gugur
Yang tidak dapat lagi menyangga bunga atau buah segar
Yang kering batangnya sekedar makanan api dan hanay patut untuk menjadi abu
Bahkan manakala hujan menggantikan kerja api
Bahkan manakala mendung yang mengeluarkan mutiara menyebabkan banhir
Yang lebih menghancurkan, dan lebih lagi kalau diteliti,
Yang tidak dapat dikenal lagi apakah musim semi atau musim gugur
Suara selalu datang dari sana
“Ini adalah kebun Islam yang hancur”
Kemunculan Musaddas mengguncang muslim India saat itu, bahasa yang sederhana telah menyebabkan ia dapat dihayati muslim dari semua kalangan. Bait-baitnya dihafal setiap orang. Syair-syairnya diajarkan di sekolah-sekolah Islam dan dalam pertemuan-pertemuan keagamaan. Syair-syair Hali ini baru berhenti dirapal ketika munculnya Maulana Muhammad Iqbal. Sajak-sajak Iqbal meneruskan semangat Hali dalam puisi-puisi yang lebih dalam dan operasional untuk membangkitkan peradaban yang terpuruk. Tapi semua mengakui, bahwa Hali adalah pembawa inspirasi yang kembali membangkitkan kaum muslim India di era modern. Sebab, selain menuliskan tentang kejatuhan dan keterpurukan peradaban Islam, Hali juga memberikan resep untuk membangkitkannya kembali.
Biarlah sementara orang pergi dan melihat puing-puing Cordova
Lengkungan dan pintu dari masjid-masjid yang perkasa
Istana-istana yang kukuh dan kuat dari kepala-kepala Arabia
Dan kemegahan serta kebesaran mereka yang sirna
Keagungan suku mereka bersinar dari reruntuhan
Seperti emas murni mengkilat dalam onggokan abu yang berserakan
Pencarian emas murni yang mengkilat dalam onggokan abu yang berserakan ini sebenarnya mirip apa yang disampaikan Buya Syafi’i Ma’arif beberapa waktu lalu. Karena sesungguhnya tanpa Sang Nabi Agung itu, Arabia bukanlah apa-apa. Ia masih menjadi setengah peradaban, dimana mereka yang menetap dan mengembara sama jumlahnya. Padahal pada saat itu Romawi dan Persia telah menjadi sebuah peradaban yang besar. Kalau dalam bahasa Ibnu Khaldun, saat Rasulullah mengubah Yasthrib menjadi Madinah, disitulah Islam mulai mewujud dalam wujud peradabannya. Sebuah peradaban yang seperti julukannya, “Madinatul ilmi”, sebuah kota yang mendasarkan dirinya pada ilmu dimana keadilan menjadi cirinya dan kedzaliman menjadi musuhnya. Oleh karena itu, orang Melayu menyebutnya Tamaddun, yang satu akar kata dengan Dien dan Madinah. Kita menyebutnya Peradaban, yang berakar dari kata adab, yakni cara pandang dan cara tindak yang ditutun ilmu dalam Islam.
Maka, mulai kini, bagi yang ingin melihat tegaknya peradaban Islam nan agung, mari kita rapalkan puisi untuk Nabi. Bukan sekedar untuk mengenang, tapi juga membangkitkan semangat juang.
Boyolali, 12 Januari 2017
Arif Wibowo