Menu Close

Pulang

(Labda ID) — Kakiku bergerak lebih cepat, senja hampir tenggelam dan masih belum aku dapati sebungkus arumanis sebagai upeti malam minggu ini.

Aku ingin seperti Sukab yang mampu memberikan senja untuk Alina. Namun keberanianku belumlah sebesar pria itu. Bukan! Bukan keberanian, tetapi cintaku belum sebesar cintanya pada Alina.

Ingatanku terbang pada pertemuan terakhir kita. Kamu menyambut kedatanganku dengan senyum manis . Tubuhmu terbalut baju warna pink tanpa lengan. Dan, aku harus menelan air liur melihatnya.

“Jangan lupa besok malam minggu kamu belikan arumanis.”

Pesanmu seperti perintah pimpinan di kantor. Kali ini pintamu terasa sulit. Hingga matahari bersembunyi, aku belum juga bertemu jajanan manis itu. Entah ke mana perginya penjual yang biasanya mangkal di pojok pasar.

Lampu yang terpasang di pinggir jalan mulai menarik perhatian serangga. Pertanda gelap sudah menguasai jagad. Aku tersadar, waktu untuk menemuimu sudah tiba.

Aku membuang napas, meskipun terpaksa aku ambil lagi. Arumanis benar-benar menghilang dari pandangan. Mungkin dia sedang sibuk mempermanis diri, agar besok bisa tampil menarik di depan anak TK yang libur sekolah.

Kakiku menyerah, tetapi rinduku tidak. Biarlah malam ini aku datang tanpa upeti. Kamu cintaku, aku cintamu. Cukup itu untuk malam ini.

Aroma minyak wangi dari tubuhku berganti dengan bau aneh. Bau yang merupakan hasil dari hilir mudik mencari arumanis.

Tidak perlu dibayangkan, pasti akan membuat selera makan menghilang. Hilang seperti penjual arumanis itu.

Mungkin istriku bohong, katanya ini wangi paling mahal, tetapi tetap saja tidak bisa mengalahkan harum asap yang menari di udara. Semoga indra pembaumu hanya bisa mencium kebahagiaan, karena aku datang.

Kakiku melangkah lebih cepat. Lampu teras di rumahmu sudah menyala. Tidak ada kamu dengan baju pink tanpa lengan yang menyambutku.

“Ada titipan surat,” ucap penjual nasi goreng di depan rumahmu, “dia pergi ikut penjual arumanis.”

Segera aku robek amplop putih tanpa coretan itu dengan kasar.

‘Aku pergi mengambil pelangi. Tidak usah sibuk mencarikan arumanis lagi. Pulang saja.’

Mataku rabun seketika. Ah! Aku bukan duniamu lagi. Laki-laki penjual aroma manis itu lebih memikat hatimu.

“Pulanglah!” Penjual nasi goreng itu ikut-ikutan menyuruhku pulang.

Aku membalikkan badan, berjalan gontai. Pulang adalah hal terbaik malam ini. Kembali dalam dekapan perempuan beraroma minyak angin, yang bergelar istri dan masih punya setia untukku.

Oleh : RWind

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.