(Labda ID) — Masyarakat awam di era literasi, hidup ditengah gempuran informasi pada masa kini sangat membutuhkan wacana baru terkait acara tradisi berupa ritus di lingkungannya. Seperti, prosesi pengarakan kerbau kyai Slamet di Keraton Surakarta yang digelar rutin setiap malam satu Muharram harus dimaknai ulang.
Berbagai pihak (ulama, akademisi, Pemkot Surakarta- red) dituntut melakukan pewacanaan ulang terkait tradisi malam satu Muharram yang selama ini identik dengan keberadaan kerbau kyai Slamet kepada masyarakat. Di era milenial seperti saat ini masyarakat sudah banyak yang mulai tidak percaya pada hal-hal mistis, salah satunya kisah ke-bombastisan kerbau Kyai Slamet. Kisah ini kini hanya dimaknai sebagai sebuah legenda atau dongeng.
“Mereka sebenarnya sudah dalam posisi yakin bahwa kisah-kisah bombastis tentang kyai Slamet itu hanya legenda dan dongeng, mereka senang nonton karena suasana ramai,” ujar Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Arif Wibowo.
Arif Wibowo mengungkapkan jika salah satu cara yang mungkin bisa dicoba ialah pengiraban Kerbau Kyai Slamet sebagai bagian dari kirab budaya. Salah satu problem yang mungkin tidak bisa dinalar dengan akal modern ialah masih terdapat unsur mistis untuk mengawali prosesi pengarakan kerbau. Konon ceritanya kerbau hanya mau diarak setelah muncul ‘tejo’ yaitu sinar berwarna hijau yang mengarah ke Menara Sangga Bhuwana.
Sebagai objek wisata, langkah strategis yang bisa dilakukan untuk membuka wacana baru terkait pengarakan Kerbau Kyai Slamet ialah melalui penjelasan memoar sejarahnya. Sejarah kapan dimulainya prosesi pengarakan kerbau ini harus dijelaskan kepada masyarakat. Fakta pengarakan kerbau ini baru dimulai pasca peristiwa kerusuhan sosial, Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974 di Jakarta.
“Saya pernah membaca majalah yang menjelaskan jika diaraknya kerbau di malam satu Syura (Muharram-Red) bukan tradisi yang lama, itu tradisi baru”, tuturnya.
Arif Wibowo mengungkapkan bahwa pasca peristiwa Malari, Soeharto melakukan konsultasi tentang cara penolak bala supaya tidak terjadi peristiwa kerusuhan serupa. Sebagai seorang yang masih kental tradisi kejawennya Soeharto lantas berkonsultasi dengan seorang jenderal yang juga menganut tradisi kejawen yaitu Soedjono Hoemardani. Atas saran dialah lantas Soeharto menelepon pihak Keraton Surakarta untuk mengarak kerbau keliling kota Surakarta pada malam satu Syura.
Tugas Dai
Tugas seorang da’i atau ulama di era kini ialah mampu mengembalikan makna malam satu Syura atau Muharram sebagai malam satu Hijriyah. Para da’i hendaknya perlu belajar kepada para ulama terdahulu dalam menyikapi budaya yang sudah menjadi tradisi masyarkat. Ulama terdahulu tidak membenci tradisi sekalipun di dalamnya itu terdapat unsur kesyirikan tapi mereka mengubah dan membuang unsur syirik dan mengganti substansinya menjadi substansi ‘tauhid’.
“Ulama kita dahulu tidak membenci tradisi, itu sebabnya orang Indonesia, Jawa yang berkeyakinan lokal menjadi nyaman untuk ber-Islam, kalau dimusuhi dia akan menjauh” tukasnya.
Lebih lanjut, Arif Wibowo menguraikan bahwa dalam Islam upaya untuk membuka wacana baru itu bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh guru-guru TPA. Di sisi lain, dia menyarankan agar di setiap kota perlu dimunculkan laboratorium dakwah, karena tantangan dakwah setiap kota itu berbeda. Dari laboratorium dakwah ini diharapkan akan muncul sekelompok elit intelektual yang mampu memberi masukan kepada para da’i, ulama, guru-guru TPA, akademisi, praktisi kebudayaan sehingga upaya mengisi tradisi dengan unsur ketauhidan akan tercapai.
Hal yang harus selalu diingat bahwa masyarakat Jawa khususnya ialah masyarakat simbolistik. Kerbau merupakan simbol bagi sebuah masyarakat agraris, sehingga ketika prosesi pengarakan kerbau kesadaran yang harus dibangun ialah siapa bangsa kita yang sesungguhnya. Bangsa Indonesia sejatinya ialah bangsa agraris, bangsa maritim namun akhir-akhir ini kita mengalami kerusakan.
“Kerbau mengingatkan bangsa Indonesia tentang jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa agrikultura, kita menghilangkan kemaritiman kita, keagrarisan kita, hendak memasuki industri akhirnya, pertanian hancur dan maritim hancur, karena kita meninggalkan fitrah” paparnya.
Fitrah Bangsa Indonesia
Fitrah bangsa Indonesia sebagai bangsa agraris pernah mengantarkan bangsa ini sebagai pengekspor padi terbesar di era Mataram Islam. Keberadaan kerbau sebagai hewan yang memiliki kekuatan untuk membajak sawah dengan tenaga yang lebih kuat dari sapi ini membuat hewan ini menjadi primadona, ‘kelangenan’ bagi raja-raja Mataram. Konon, ketika musim ‘pageblug’ tiba raja datang mengunjugi kawasan yang terkena bencana pageblug dengan mengajak hewan kesayangannya itu yang hal ini dimaknai oleh masyarakat awam yang melihat sebagai upaya penolak bala.
“Mataram bangkit sebagai kekuatan agraris, setelah Demak yang bergantung pada kekuatan maritim dengan perdagangan internasional jatuh, maka kekuasaan pindah ke masyarakat pedalaman yang merupakan masyarakat agraris yang merupakan produsen utama beras” jelasnya.
Pada masa pra-Islam di Indonesia kerbau termasuk hewan yang dimuliakan oleh para petani karena dianggap sebagai simbol kemakmuran. Di beberapa kawasan seperti di Minangkabau, Toraja contohnya hewan ini memiliki makna khusus bagi masyarakat di sana, seperti lazimnya masyarakat Jawa. Terlepas dari itu prosesi pengarakan kerbau kyai Slamet pada malam satu Syura semestinya di maknai sebagai peristiwa hijrah sebagai mana dilakukan oleh Sultan Agung yang mengubah kalender Jawa (Saka;Hindu- Red) menjadi kalender hijriyah.
Tori Nuariza