(Labda ID) — Laweyan menjadi kota Bandar, jalur perdagangan yang mashyur dan ramai pada abad ke 15 silam. Letak geografisnya yang strategis membuat Laweyan memiliki arti penting bagi perkembangan kota Surakarta di kemudian hari.
Melalui Laweyan, Islam dikenal masyarakat serta meraih kekuatan signifikannya, fakta sejarah inilah yang mungkin kurang dipahami dengan baik oleh penguasa saat ini hingga membuat kawasan ini harus tertatih-tatih menata masa depannya sendiri.
Sejarah mencatat Laweyan sebagai kota industri batik yang dimulai sejak Kerajaan Demak yang kemudian dipindahkan ke Pajang. Pada masa itu akses jalur lalu lintas yang mobilitasnya hidup adalah kota Bandar atau tepi sungai. Laweyan yang terletak di tepi sungai Jenes dan Banaran, dua anak sungai Bengawan Solo sejak saat itu dikenal sebagai kota industri ‘lawe’ atau benang.
“Dahulu di Laweyan itu ada kota bandar yang biasa di lalui kapal besar dan menghubungkan antar bandar, pada saat itu sudah banyak penduduk yang berjualan lawe sebagai bahan kain,” tutur salah seorang keturunan Haji Samanhudi, Dr. Prastyo Adi Wisnu Wibowo saat mengisi sarasehan budaya yang berlangsung di Balai Kampung Batik Laweyan, Senin (25/09/2017) malam.
Sosok fenomenal yang melegenda bagi warga kampung batik Laweyan tidak lain yakni Haji Samanhudi. Dialah penggerak organisasi pergerakan nasional pertama yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905. Ir. Soekarno yang kala itu masih menjadi presiden menghadiahkannya sebuah rumah dan sebuah piagam penghargaan sebagai wujud apresiasi akan kiprahnya.
“SDI yang semula sebagai organisasi perkumpulan pedagang muslim pun berubah menjadi organisasi politik yang menentang praktik feodalisme di Indonesia,” jelas Prasetyo.
Warga Laweyan memandang sosok Samanhudi sebagai saudagar muslim yang cerdas dalam membaca zaman. Spirit ini pun memompa semangat juang mereka dalam menata kawasan Laweyan sebagai pusat perekonomian batik yang mandiri. Bahkan, generasi baru Laweyan ini berharap kelak bisa mengembalikan kejayaan Laweyan seperti dahulu kala.
Sejarawan, Heri Priyatmoko menjelaskan bahwa Laweyan memiliki makna di mata berbagai kalangan seperti akademisi dan peneliti. Laweyan laksana medan magnet yang menarik untuk diteliti maka tak heran jika kampung ini tidak pernah sepi dari aktivitas penelitian. Bagi seorang peneliti, kampung ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dan mendetail mengenai seluk beluk Laweyan, aktivitas sosial masyarakat di dalamnya.
“Laweyan adalah sumur, sumber inspirasi yang tidak pernah habis, terbukti mampu menggerakan para kaum cerdik pandai kampus datang ke Laweyan,” tutur Heri dalam sarasehan budaya yang berlangsung di Balai Kampung Batik Laweyan, Senin (25/09/2017) malam
Heri menjelaskan di masa lalu Laweyan pernah mengalami masa alienasi, terbukti melalui sebuah peta pada akhir abad 18 nama Laweyan tidak tercantum. Selain itu dalam sebuah novel masa itu ada sebuah percakapan yang menganggap bahwa Laweyan bukan bagian dari Solo. Belum lagi mitos-mitos yang beredar yang mengatakan bahwa jangan meremehkan orang Laweyan nanti digigit Nyai Blorong.
“Pada masa kerajaan struktur piramida sosial masyarakat Jawa terdiri atas bangsawan, priyayi dan wong cilik, pedagang atau saudagar tidak ada, maka secara tidak langsung masyarakat Laweyan tersingkir,” ungkapnya.
Meskipun upaya menyingkirkan Laweyan dari percaturan realita sosial kemasyarakatan itu ada, namun fakta sejarah tetap menyajikan realita yang tak bisa dipungkiri. Mereka tetap berkarya misalnya, di Kampung Laweyan perempuan merupakan motor penggerak perekonomian batik. Perempuan Jawa Laweyan biasa dipanggil dengan mbok marsih, mereka mengatur produksi hingga pemasaran batik tulis di Laweyan.
“Mental-mental pengusaha benar-benar tumbuh di kalangan perempuan Laweyan,” terangnya.
Saudagar muslim Laweyan di masa lalu tetaplah mempesona lewat pemikiran, perjuangan dan kreativitasnya berkarya seni batik. Berbicara Laweyan maka berbicara tentang konsep berkesadaran masyarakatnya.
Kesadaran akan keruangan, manajemen, bermedia, berliterasi, dan berorganisasi, menjadi tanda bahwa orang Laweyan sangat peka dalam membaca zaman.
Ki Ageng Henis
Salah satu jejak itu adalah kompleks pemakaman yang tidak seberapa luas dan berada di tepi Kali Jenes, di sisi paling barat Kampung Laweyan. Pemakaman itu sudah sangat tua. Tokoh yang dimakamkan di tempat itu, Ki Ageng Henis, wafat pada tahun 1503.
Di sebelah makam, terdapat sebuah masjid yang tidak kalah tuanya. Dulunya, masjid itu merupakan sebuah pura milik Ki Beluk, tokoh kampung setempat yang kemudian di-Islam-kan oleh Ki Ageng Henis.
Ki Ageng Henis merupakan tokoh yang menurunkan raja-raja di Jawa. Dia merupakan kakek dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam. Kompleks pemakamannya berada di Kampung Laweyan, salah satu perkampungan padat di Kota Surakarta yang lebih tenar dengan sebutan Kota Solo.
Jejak sejarah itu menunjukkan bahwa usia perkampungan Laweyan jauh lebih tua dibandingkan Keraton Kasunanan Surakarta yang didirikan Paku Buwana II pada 1745.
“Kampung itu merupakan ibu kota Kerajaan Pajang,” ujar Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko.
Heri bahkan meyakini bahwa perkampungan itu sudah ada sejak zaman Majapahit. Dalam Kitab Negarakertagama, tertulis cerita bahwa Hayam Wuruk pernah berkunjung ke Kadipaten Pajang.
“Pada saat itu Kadipaten Pajang sudah ada dan merupakan bawahan dari Majapahit,” tutur Heri.
Ibukota Kerajaan Pajang
Sebagai ibu kota sebuah kerajaan, Laweyan menjadi sebuah permukiman yang dinamis dan memiliki perekonomian yang berkembang. Industrinya bergerak untuk mencukupi kebutuhan masyarakatnya, termasuk sandang. Mereka juga menjalin relasi dagang dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur.
Kali Jenes yang melintas di Laweyan menjadi jalur transportasi utama untuk mengangkut komoditas yang dihasilkan. Dulunya, sungai itu cukup besar dan dalam sehingga bisa dilalui oleh rakit pengangkut barang. Rakit-rakit itu bersandar di sebuah bandar yang ada di Laweyan, Bandar Kabanaran, yang beroperasi hingga akhir abad 19.
Kampung Laweyan tetap eksis meski era Kerajaan Pajang telah usai dan digantikan oleh Mataram Islam. Masyarakatnya mengembangan perekonomian secara mandiri tanpa ada campur tangan dari pemerintahan kerajaan. Kekayaan para saudagarnya menyaingi kekayaan para bangsawan.
Lalu sejarah berjalan seperti gelombang laut, ada pasang dan surut. Begitu juga usaha batik Laweyan mengalami masa keemasan dan pernah pula masa kelam.
Tetapi hari ini Laweyan bagai sedang berada di pasang naik. Gunawan Muhammad Nizar, salah satu tokoh masyarakat di Laweyan, mengatakan saat ini ada belasan pabrik batik yang beroperasi. Sebagian pengusaha juga membuka usaha perancangan busana hingga garmen. Ada pun,“Gerai batik mungkin sudah lebih dari seratus,” tuturnya.
Batik yang dihasilkan merupakan batik gaya Solo yang dikenal dengan kehalusan dan kerumitan motifnya serta memiliki warna soga atau gelap. Meski batik berkembang berabad-abad, tidak ada motif baku yang menjadi acuan atau melegenda di kampong batik itu.
“Sejak dulu pembatik membuat motif sesuai permintaan pasar,” jelasnya. Mereka membuat motif-motif yang disukai masyarakat dan membuat motif baru saat pasar sudah mulai jenuh. Motif batik di Laweyan sangat dinamis,” tukasnya.
Tori Nuariza